Berikut
ini adalah petikan dari ucapan beberapa tokoh Islam Liberal di
Indonesia disertai referensi yang cukup jelas untuk menjamin
otentisitasnya. Saya berusaha memberikan jawaban seobjektif dan
sesederhana mungkin dengan cara yang dapat dipahami setiap orang. Hanya
kepada Allah-lah kami berlindung dari godaan syetan dari golongan jin
dan manusia yang terkutuk.
“Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Ulil Abshar Abdalla, dari majalah GATRA, 21 Desember 2002).
Pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah : Apakah
Ulil sudah pernah melakukan studi perbandingan agama sebelumnya? Jika
ya, agama-agama apa sajakah yang sudah diperbandingkannya? Selain
itu, sebagai manusia yang intelek, seharusnya ia tidak membuat klaim
begitu saja, melainkan memberikan bukti-bukti yang konkrit.
Alangkah lebih baik jika ia membuat sebuah buku yang membuktikan bahwa semua agama itu sama, atau menyelenggarakan sebuah seminar tentang itu, kemudian menjadikannya sebagai rujukan dalam wawancara, agar para pembaca tidak menelan bulat-bulat apa yang dikatakannya. Kecuali, barangkali, ia memang ingin ucapannya ditelan bulat-bulat.
Jika
ini yang terjadi, maka Ulil dan Islam Liberal sebenarnya adalah sebuah
gerakan ekstremis yang dilandasi oleh pemahaman yang fanatik.
Terakhir, jika memang ia menganggap semua agama itu benar, mengapa ia
mencatut nama Islam dalam organisasinya? Alangkah lebih baiknya ia
menyatakan diri sebagai penganut agama liberal dan mengubah nama JIL
menjadi JAL (Jaringan Agama Liberal). Menganut paham ‘semua agama
benar’ sekaligus menggunakan nama ‘Islam’ adalah suatu kontradiksi
yang amat mengherankan.
“Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat.” (Ulil Abshar Abdalla, dari koran Jawa Pos, 11 Januari 2004).
Sekali
lagi, perlu dipertanyakan (atas nama keilmiahan) sejauh mana Ulil
telah melakukan penelitian dan memperbandingkan semua kitab suci dari
berbagai agama. Samakah Al-Qur’an dengan Bible? Bagaimana Ulil bisa
berpendapat bahwa semua kitab suci adalah mukjizat? Di manakah
bukti-bukti kongkritnya? Jika ia tidak bisa menjawab, maka sekali lagi,
jelaslah bahwa JIL adalah organisasi ekstremis yang anggotanya
fanatik dan taqlid buta pada pemimpinnya.
“Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antaragama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman – tanpa harus melihat Agamanya apa – adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.” (Budhy Munawar Rahman, dari buku Wajah Liberal Islam di Indonesia terbitan JIL).
Tentu
saja Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu, Yang Maha Esa. Apa pun
agamanya, hanya ada satu ilah yang memegang kuasa penuh dan tak
tertandingi. Namun masing-masing agama memiliki definisi yang berbeda
tentang ilah ini.
Umat
Islam percaya pada Allah, umat Kristiani percaya pada konsep
trinitasnya. Samakah Allah dalam pemahaman agama Islam dengan konsep
trinitas yang dipegang teguh oleh umat Kristiani? Rasanya saya belum
pernah mendengar ada orang yang mengatakan bahwa kedua konsep ketuhanan
ini sama.
Selain itu, nampaknya Budhy Munawar Rahman ini khawatir bahwa memberikan predikat ‘kafir’ pada umat agama lain akan memicu kekerasan antarumat beragama. Padahal, secara bahasa, ‘kafir’ berasal dari kata yang sama dalam bahasa Arab yang artinya ‘ingkar’.
Orang yang kafir adalah orang yang ingkar terhadap sesuatu (dalam hal
ini ingkar terhadap ajaran Islam). Tidak ada konsekuensi yang buruk
sama sekali atas keingkarannya itu, karena Islam tidak merasa perlu
memaksa orang lain untuk memeluk agama Islam.
Kekhawatiran
kaum liberalis ini nampaknya mereka warisi dari para mentornya yang
berasal dari Eropa yang masih trauma dengan peristiwa inkuisisi, yaitu
pembantaian besar-besaran terhadap siapa saja yang dikategorikan ‘kafir’ oleh pihak Gereja.
“Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri dari banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini, kerja sama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.” (Abdul Munir Mulkhan, dari buku Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar).
Pertama, ia mengawali pernyataan ini dengan kata “jika”. “Jika semua agama memang benar sendiri…..” artinya adalah “belum tentu semua agama memang benar sendiri…..”.
Dengan sendirinya, semua pernyataan setelah itu adalah sebuah
hipotesa belaka dan tidak perlu dianggap sebagai sebuah fakta, karena
ia juga tidak pernah mengajukan secuil bukti dalam bentuk apa pun.
Kedua,
ia melakukan sebuah kesalahan fatal, yaitu dengan menganggap dirinya
sudah sama dengan Tuhan atau mampu berpikir layaknya Tuhan. Dari mana
datangnya teori bahwa semua agama pasti diridhai oleh Allah? Entahlah!
Saya rasa tidak perlu dijawab, karena ia sendiri tidak mengajukan
alasan apa pun.
Ketiga,
dengan mengatakan bahwa teorinya (yaitu dengan menganggap semua agama
sama) adalah pembuka jalan bagi kerja sama dan dialog antarumat
beragama. Kenyataannya, kerja sama dan dialog dapat terjadi tanpa
harus mengakui teori Abdul Munir Mulkhan tersebut. Saya menganggap
kalimat terakhirnya itu adalah sebentuk megalomania yang menganggap
bahwa teorinya adalah teori sapu jagat yang bisa menyelesaikan
masalah.
“Jadi, pluralisme sesungguhnya adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.” (Nurcholis Madjid, dari buku Islam Doktrin dan Peradaban).
Perlu
dipahami bahwa pluralitas dan pluralisme adalah dua hal yang berbeda.
Pluralitas adalah fakta bahwa manusia diciptakan dalam keadaan yang
berbeda-beda, sedangkan pluralisme (menurut definisi Nurcholis Madjid
sendiri, namun tidak disetujui oleh Frans Magnis Suseno) adalah paham
yang mengatakan bahwa semua agama itu sama, yaitu sama-sama benar.
Apakah
paham ini adalah sunnatullah? Apakah ia tak dapat dilawan? Sebaiknya
Nurcholis Madjid bersikap bijak dan menunggu hingga akhir jaman untuk
melihat bukti apakah paham ini bisa dilawan atau tidak. Kenyataannya,
banyak orang yang sedang berjuang untuk melawannya. Salah satunya
adalah saya sendiri. Jadi, kalau Cak Nur bilang bahwa pluralisme tidak
mungkin dilawan, maka saya akan menjawab : “We’ll see.”
“Prinsip
lain yang digariskan oleh Al-Qur’an adalah pengakuan eksistensi
orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan
dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip
ini memperkokoh ide mengenai pluralisme keagamaan dan menolak
eksklusifisme. Dalam pengertian lain, eksklusifisme keagamaan tidak
sesuai dengan semangat Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an tidak membeda-bedakan
antara satu komunitas agama dari lainnya.” (Alwi Shihab, dari buku Islam Inklusif ; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama).
Agaknya Alwi Shihab terlalu bersikap curiga pada umat Islam sampai-sampai perlu diinklusifkan. Padahal sudah sejak dahulu umat Islam tidak pernah bersikap eksklusif, bahkan berhubungan baik dengan agama mana pun.
Jika
memang ada sebagian Muslim yang bersikap ofensif terhadap umat agama
lain, maka yang perlu dilakukan adalah menasihatinya untuk kembali
pada ajaran Rasulullah saw., bukan mengarang-ngarang ajaran baru yang
disebut sebagai ‘Islam Inklusif’ atau ‘Islam Pluralis’.
Embel-embel apa pun yang disandingkan dengan nama Islam menunjukkan
bahwa ia bukanlah Islam murni. Apakah Alwi Shihab hendak berkata bahwa
Islam ini kekurangan sehingga perlu dilengkapi? Sungguh sebuah gugatan
yang amat tidak pantas terhadap Allah SWT!!!
“Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang Mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain; Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Gandhi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!” (Sumanto Al-Qurtuby, dari buku Lubang Hitam Agama)
Sekali
lagi, pernyataan ini diawali dengan kata “jika” dan “mungkin”.
Artinya, hanya sebuah kemungkinan yang mampu dipikirkan oleh benak
seorang Sumanto. Saya menganggapnya sebagai sebuah hipotesa yang tidak
perlu ditanggapi serius karena memang sama sekali tidak ilmiah.
Anda
perlu gambaran lebih lanjut? Saya akan mengutip beberapa tulisan
Sumanto Al-Qurtuby dalam bukunya yang berjudul Lubang Hitam Agama.
Silakan Anda menilai sendiri!
- “Bahkan sesungguhnya hakekat Al-Qur’an bukanlah ‘teks verbal’ yang terdiri atas 6666 ayat bikinan Utsman itu melainkan gumpalan-gumpalan gagasan.” (hal. 42)
- “Al-Qur’an bagi saya hanyalah berisi semacam ‘spirit ketuhanan’ yang kemudian dirumuskan redaksinya oleh Nabi.” (hal. 42)
- “Seandainya (sekali lagi seandainya) Pak Harto berkuasa ratusan tahun, saya yakin Pancasila ini bisa menyaingi Al-Qur’an dalam hal ‘keangkeran’ tentunya.” (hal. 64)
- “Di sinilah maka tidak terlalu meleset jika dikatakan, Al-Qur’an, dalam batas tertentu, adalah “perangkap” yang dipasang bangsa Quraisy (a trap of Quraisy).” (hal. 65)
Na’uudzubillaah!
Sumber:
Judul Asli: Yang Aneh dari Islam Liberal
Penulis: Ibnu Maryam