VOA-ISLAM.COM - Sungguh berbeda kondisi para remaja di zaman ini dengan zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Remaja masa kini tenggelam dengan tsunami pergaulan bebas dan weternisasi. Perilaku mereka tak lagi meneladani sang Rasulullah namun Boys Band dan artis-artis semisal Justin Biber. Tak sampai disitu, wabah “alay” pun menjangkiti, lebih parah lagi diantara mereka ada yang bangga bertingkah seperti banci.
Sungguh tak akan selesai mengungkap kebobrokan remaja di zaman ini, maka sudah saatnya para remaja mulai memperbaiki diri. Lihatlah apa yang dilakukan dua remaja ketika perang Badar di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dr. Raghib As Sirjani dalam kitabnya “Risalatun ila Syababil Ummah” yang diterjemahkan berjudul “Menjadi Pemuda Peka Zaman”, dengan bahasa yang komunikatif beliau menjadikan kisah tersebut sebagai motivasi bagi para remaja. Berikut ini petikan kisah Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ tersebut.
Kedua pemuda yang masih belia ini mempunyai kisah hidup yang tidak pernah terpikir atau terbesit di dalam benak siapapun. Pertama adalah Muadz bin Amr bin Jamuh, usianya baru empat belas tahun. Sementara yang kedua adalah Muawwidz bin Afra’, usianya baru tiga belas tahun. Akan tetapi, dengan penuh antusias keduanya bergegas ikut serta bergabung bersama pasukan kaum muslimin yang akan berangkat menuju lembah Badar.
Kedua pemuda belia ini memiliki nasib baik karena tubuh keduanya terlihat kuat dan usianya terlihat relatif lebih dewasa. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. menerima keduanya masuk dalam skuad pasukan kaum muslimin yang akan berperang melawan kaum musyrikin pada perang Badar. Meskipun usia mereka masih sangat muda belia, tetapi ambisi mereka jauh lebih hebat dan lebih besar daripada ambisi para orang tua atau kaum lelaki yang lain.
Di sini mari kita dengarkan bersama penuturan dari seorang sahabat yang mulia Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. seperti yang terdapat di dalam Shahih Al-Bukhari. Abdurrahman Radhiyallahu ‘anhu menggambarkan sikap dan tindakan yang sangat ajaib dari kedua pemuda pemberani ini! Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan :
“Pada perang Badar, saya berada di tengah-tengah barisan para Mujahidin. Ketika saya menoleh, ternyata di sebelah kiri dan kanan saya ada dua orang anak muda belia. Seolah-olah saya tidak bisa menjamin mereka akan selamat dalam posisi itu.”
Kedua pemuda belia itu adalah Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhuma. Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu sangat heran melihat keberadaan kedua anak muda belia ini di dalam sebuah peperangan yang sangat berbahaya seperti perang Badar. Abdurrahman merasa khawatir mereka tak akan mendapatkan bantuan atau pertolongan dari orang-orang di sekitar mereka berdua, disebabkan usia keduanya yang masih muda.
Lalu Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya dengan penuh takjub :
“Tiba-tiba salah seorang dari kedua pemuda ini berbisik kepada saya, ‘Wahai Paman, manakah yang bernama Abu Jahal?” Pemuda yang mengatakan hal ini adalah Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu Ia berasal dari kalangan Anshar dan dirinya belum pernah melihat Abu Jahal sebelumnya. Pertanyaan mengenai komandan pasukan kaum musyrikin, sang lalim penuh durjana di Kota Mekkah dan “Fir’aun umat ini”, menarik perhatian Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. Lantas ia pun bertanya kepada anak muda belia tadi, “Wahai anak saudaraku, apa yang hendak kamu lakukan terhadapnya?”
Sang pemuda belia itu menjawab dengan jawaban yang membuat Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu tak habis pikir! Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Saya mendapat berita bahwa ia adalah orang yang pernah mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah yang jiwa saya dalam genggaman-Nya! Jika saya melihatnya, pupil mata saya tidak akan berkedip memandang matanya hingga salah seorang di antara kami terlebih dahulu tewas (gugur).”
Ya Allah, betapa kokoh dan kuatnya sikap anak muda belia ini! Seorang anak muda belia yang tinggal di Madinah Al-Munawwarah. Ketika ia mendengar bahwa ada orang yang mencaci maki baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Mekkah yang jaraknya hampir 500 km dari tempat tinggalnya, bara api kemarahan berkobar di dalam hatinya dan semangat ingin membela baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membara di dalam jiwanya.
Ia pun berikrar untuk melakukan sesuatu yang bisa membela keyakinan, harga diri dan tempat-tempat suci agamanya. Dan kesempatan itu datang kala perang berkecamuk, yakni ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa Abu Jahal menuju lembah Badar. Maka ia pun berikrar bahwa ia sendiri yang akan membunuhnya.
Sungguh, pemuda belia ini benar-benar bersumpah bahwa jika ia melihat Abu Jahal, maka ia tidak akan membiarkannya begitu saja hingga salah seorang dari mereka meninggal dunia. Ia tidak merasa cukup hanya dengan tercapainya cita-cita ikut serta dalam perang Badar dan melakukan tugas mulia yang dibebankan kepadanya.
Tidak merasa cukup hanya dengan memenuhi mimpinya dengan membunuh seseorang dari pasukan kaum musyrikin saja. Akan tetapi, yang menjadi ambisi utamanya, impian masa depannya, target dan tujuan hidupnya; adalah ia harus membunuh si durjana dan si lalim ini (Abu Jahal). Meskipun tebusannya, ia akan mati syahid di jalan Allah.
Subhanallah! Sebenarnya, ia boleh saja – tidak ada orang yang akan mencelanya – berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan membunuh salah seorang dari kalangan kaum musyrikin dan menyerahkan urusan membunuh komandan pasukan kaum musyrikin yang lalim ini kepada salah seorang pahlawan Islam terkemuka, atau salah seorang ahli perang yang sudah diketahui kemampuan dan kemahirannya dalam bertempur. Akan tetapi, ambisi dan obsesi utamanya laksana ingin sampai ke puncak bangunan yang tinggi menjulang.
Tentunya, hal ini bukan satu sikap yang biasa. Ini adalah satu sikap yang benar-benar menakjubkan. Bahkan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu sendiri menuturkan, “Saya pun merasa takjub akan hal itu.” Namun rasa takjub dan keheranan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu belum berhenti sampai di situ. Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu bukan satu-satunya anak muda belia yang jarang ditemukan di tengah-tengah barisan pasukan kaum muslimin. Ia punya teman sejawat yang saleh dan seusia atau sedikit lebih muda darinya. Anak muda ini juga bersaing dengannya dalam hal yang sama.
Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Seorang pemuda belia yang lain (Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu) menghentak saya dan mengatakan hal yang serupa.” Lalu Abdrurahman melanjutkan kisahnya, “Tiba-tiba saja saya melihat Abu Jahal berjalan di tengah-tengah kerumunan orang ramai. Saya berkata, “Tidakkah kalian melihat orang itu ia adalah orang yang baru saja kalian tanyakan kepadaku!”
Melihat Abu Jahal, darah amarah kedua pahlawan belia ini pun membara. Tekad bulat mereka semakin mantap untuk merealisasikan tugas yang sangat mulia, yang senantiasa bergeliat dalam mimpi dan benak pikiran meraka.
Sekarang, mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu ketika ia menggambarkan situasi yang sangat menakjubkan tersebut, seperti yang terdapat dalam riwayat Ibnu Ishaq dan di dalam kitab Ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Saya mendengar kaum musyrikin mengatakan, ‘tidak seorang pun dari pasukan kaum muslimin yang dapat menyentuh Al-Hakam (Abu Jahal)’.” Saat itu , Abu Jahal berada di tengah-tengah kawalan ketat laksana pohon yang rindang.
Abu Jahal, sang komandan terkemuka dari bangsa Quraisy datang dalam iring-iringan para algojo dan orang-orang kuat laksana hutan lebat. Mereka melindungi dan membelanya. Ia adalah simbol kekufuran dan komandan pasukan perang, sehingga sudah pasti jika pasukan batalyon terkuat di kota Mekkah dikerahkan untuk melindungi dan membelanya.
Di samping itu, kaum musyrikin juga saling menyerukan, “Waspadalah, jangan sampai pemimpin dan komandan kita (Abu Jahal) terbunuh!” Mereka mengatakan, “Tidak seorang pun musuh yang dapat menyentuh Abul-Hakam (Abu Jahal)!”
Meskipun Abu Jahal dilindungi sedemikian rupa dan pengawalannya begitu ketat, namun hal itu tak menghalangi Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu untuk tetap membulatkan tekadnya, melaksanakan tugasnya, serta merealisasikan cita-cita suci di dalam hidupnya.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Ketika saya mendengarkan perkataan itu, saya pun semakin membulatkan tekad. Saya memfokuskan diri untuk mendekatinya. Ketika tiba waktunya, saya langsung menghampirinya dan memukulkan pedang kepadanya hingga setengah kakinya (betis) terputus.”
Subhanallah! Hanya satu sabetan pedang dari tangan anak muda belia ini, betis seorang lelaki (Abu Jahal) putus dalam sekejap.
Tanyakanlah kepada para dokter atau tim medis yang pernah melakukan operasi pemotongan, betapa sulitnya melakukan hal tersebut! Coba pula tanyakan kepada para pahlawan dan ahli perang yang bergelut di medan pertempuran yang dahsyat, betapa sangat sulitnya hal itu dilakukan!
Wahai generasi muda Islam! Apa sebenarnya yang kita bahas sekarang? Apakah kita berbicara mengenai tingkatan kepahlawanan dalam perang yang ideal? Ataukah gambaran keberanian yang sangat fantastis? Ataukah seni keahlian perang yang paling indah? Ataukah kekuatan tenaga? Ataukah ketajaman daya pikir dan insting? Ataukah kejujuran dalam berjihad, niat yang ikhlas, dan keinginan yang kuat? Ataukah sebelum semua itu, dan yang paling penting kita bicarakan adalah tentang taufik (pertolongan) Allah 'azza wa jalla kepada para mujahidin di jalan-Nya. Allah azza wa jalla berfirman :
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut : 69)
Wahai generasi muda Islam! Pemuda belia ini baru berusia empat belas tahun. Dirinya mampu memotong betis Abu Jahal hanya dengan satu pukulan saja. Padahal Abu Jahal berada dalam perlindungan dan pengawalan yang sangat ketat dari pasukan kaum musyrikin.
Ia benar-benar telah merealisasikan mimpinya selama ini. Hati sanubarinya terasa damai, dan ia telah berhasil membalas dendam kesumatnya demi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, apakah semua itu dilakukan begitu saja tanpa pengorbanan?!
Hal itu sangat mustahil! Tentunya taruhannya harus ditebus dengan darah. Sebab, pohon kejayaan dan kemuliaan tidak akan tumbuh berkembang selain dengan darah-darah para Mujahidin dan Syuhada.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Pada perang itu (Badar), anaknya (Abu Jahal), Ikrimah -pada waktu itu ia masih musyrik – menebas lengan saya dengan pedangnya hingga hampir terputus dan hanya bergantung pada kulitnya saja.”
Tangan pemuda belia itu hampir terpisah dari tubuhnya, hanya bergantung pada kulitnya saja. Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu kehilangan lengan tangannya di jalan Allah!
Namun di atas semua itu, berputus asakah ia? Menyesalkah ia? Apakah ia merasa bahwa ia telah melakukan tindakan yang salah? Apakah ia berharap, seandainya ia tidak ikut dalam medan perang serta hidup dengan selamat dan damai di Madinah, sehingga dirinya terhindar dari luka penderitaan, dan cacat?
Wahai generasi muda Islam! Semua itu sedikit pun tak pernah terbesit dalam benaknya. Justru yang menjadi ambisinya pada saat-saat seperti ini adalah ia harus meneruskan perjalanan jihadnya di jalan Allah Ta’ala. Sebab, masih banyak musuh yang memerangi umat islam dan orang-oarng ikhlas harus segera membela dan berjuang meskipun hanya dengan satu tangan.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya,
“Pada hari itu, saya benar-benar berperang seharian penuh. Tangan saya yang hampir putus itu hanya bergelantungan di belakang. Dan ketika ia menyulitkan saya, saya pun menginjaknya dengan kaki, lalu saya menariknya hingga tangan saya terputus.”
Ia justru memisahkan tangan dari jasadnya agar bisa mengobarkan jihad dengan bebas dan leluasa! Subhanallah! Lantas, di mana teman pesaingnya untuk membunuh si durjana dan si lalim kelas kakap itu? Di mana Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu?
Mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh ra. tentang teman pesaingnya ini :
“Lalu Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu melintas di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia pun menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal dengan nafas terakhirnya.”
Maksudnya, Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu juga berhasil merealisasikan tujuan dan cita-citanya. Ia menebas Abu Jahal dengan pedang di kala ia berada di tengah-tengah kerumunan para pengawal dan pelindungnya. Namun, ia berhasil memukul Abu Jahal hingga membuatnya terjungkal ke tanah seperti orang yang tak berdaya, tetapi ia masih mempunyai sisa-sisa nafas terakhir. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu datang untuk menghabisi nyawa Abu Jahal.
Demikianlah keadaaannya. Kedua pahlawan cilik ini berlomba-lomba dan bersaing untuk menghabisi si durjana, yang pada akhirnya mereka mendapat nilai seri!
Coba perhatikan! Dalam rangka apa mereka bersaing?
Lantas keduanya datang menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing mengatakan, “Saya telah membunuh Abu Jahal, wahai Rasulullah!”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka berdua sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Apakah kalian telah menghapus (bercak darah yang menempel pada) pedang kalian?“ mereka berdua menjawab, “Belum.” Maka beliau melihat kedua pedang pahlawan cilik tersebut. Lantas beliau bersabda, “Kalian berdua telah membunuhnya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menyimpulkan bahwa kedua pahlawan- belia itu memperoleh nilai yang sama dan seri.
Subhanallah! Apakah sampai di sini saja kisah kepahlawanan kedua pemuda belia ini? Belum, wahai generasi muda Islam! Namun, kisah mereka masih terus berlanjut pada babak berikutnya.
Kita telah menyaksikan bahwa Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu harus rela kehilangan tangannya sebagai harga mati dari perjuangan, kejujuran, dan kebulatan tekadnya. Lantas apa yang telah dipersembahkan oleh Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu? Muawwidz Radhiyallahu ‘anhu telah mempersembahkan seluruh jiwanya. Sehingga ia memperoleh mati syahid di jalan Allah!
Pahlawan tangguh yang masih muda belia ini – usianya baru tiga belas tahun – terus melanjutkan petualangan jihad dan perjuangannya setelah ia mempersembahkan perjuangan yang sangat berharga hingga terbunuhnya Abu Jahal. Akan tetapi, ia tidak merasa puas hanya dengan perjuangan sebatas itu. Meskipun hasilnya bisa dibanggakan, namun ia terus berjuang dan maju menerjang musuh hingga memperoleh mati syahid di jalan Allah, yang padahal usianya masih sangat muda belia.
Wahai generasi muda, biginilah simbol kejayaan dan kemuliaan! Dan beginilah persaingan yang hakiki. Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَفِيْ ذلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (Al-Muthaffifin : 26). Sampai disini kisah tersebut.
Ketahuilah wahai para pemuda, betapa leluasa Abu Jahal abad ini mencaci hingga memerangi umat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Jahal abad ini telah menghina syari’at i’dad dan jihad yang Allah Ta’ala perintahkan dengan sebutan keji; “tindak pidana terorisme.” Mereka tuding semangat menegakkan daulah islamiyah dan khilafah sebagai paham radikal. Mereka hinakan para ulama muwahhid dengan menghakiminya lewat hukum thaghut. Mereka menawan para mujahidin dan membantainya sesuka hati. Bahkan yang lebih “gila” lagi, mereka fitnah gerakan jihad dibiayai lewat bisnis narkoba (narcoterrorism).
Masih adakah remaja yang mendidih darahnya menyaksikan kezhaliman tersebut? Sungguh saat ini, umat begitu merindukan sosok remaja seperti Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ yang siap membinasakan Abu Jahal abad ini. Wallahu a’lam bis Shawab [Ahmed Widad]
*Sumber : www.voa-islam.com